Jumat, 08 Mei 2015

Pemikiran KH. Abdur Rahman Wahid (Gus Dur)



MAKALAH
PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Makalah Ini Ditulis dalam Rangka Memenuhi Tugas Matakuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing : Asnawan, M.SI

 

Disusun Oleh:
Kelompok : 5

Retno Hana Saputri                         :    084 131 111
Achmad Fathur Rizqi Alfian Jamil :    084 131 123
Imam Syahroni H                            :    084 131 124
Firman Gilang Pratama                   :    084 131 097
Dwi Lutvi Azizah                            :    084 131 120

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
(IAIN) JEMBER
April, 2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah, menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial.
Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya.
Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman Wahid. 

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pembahasan di atas, penulis dapat merumuskan  masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi K.H. Abdurrahman Wahid?
2.      Bagaimana setting sosial K.H. Abdurrahman Wahid?
3.      Apa saja konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan?
4.      Bagaimana analisis terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid?
5.      Bagaimana relevansi K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini?
     
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Mengetahui biografi K.H. Abdurrahman Wahid.
2.    Mengetahui setting sosial K.H. Abdurrahman Wahid.
3.    Mengetahui konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan.
4.    Mengetahui analisis terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid.
5.    Mengetahui relevansi K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti ‘Sang Penakluk’, sebuah nama yang diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. [1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara.  Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang.  Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih (kalangan kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit komplikasi diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[2]



B.     Setting Sosial
Jombang adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Kondisi alamnya yang subur menjadikan para petani bisa bertahan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dalam perkembangannya, dunia petanian di wilayah ini mengalami pengaruh industrialisasi yang menyebabkan mereka mengadopsi pola pertanian modern.
Kota Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota inilah muncul beberapa kiai besar dan pesantren yang terkenal. Seperti K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahid Hasyim yang merupakan kakek serta ayah dari Gus Dur dengan pesantren Tebuireng, K.H. Wahab Hasbullah dengan psantren Tambakberas, dan lain sebagainya. Dari kota ini pula muncul tokoh-tokoh kelas nasional dari budayawan, politisi, seniman, intelektual. Salah satunya adalah Gus Dur sendiri, salah satu tokoh NU dan warga Jombang yang pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4.[3][3]
Sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal masakecilnya ia dikenalkan pada dunia pesantren di Jombang. Kemudian, pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta dan berkenalan dengan  berbagai tokoh pergerakan. Di  Jakarta, Gus Dur belajar banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya, tetapi dari pergaulan ayahnya dari kalangan pesantren, nasionalis bahkan komunis.  Inilah yang menjadikan Gus Dur di kemudian hari sangat minat akan pengetahuan, dan mampu menjembatani  secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren  dengan dunia modern.
Gus Dur memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis ketika ia belajar di kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini pula, Gus Dur  belajar sufisme dan sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam para wali kelas dunia.
Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan,  pluralisme dan mempertahankan nasionalisme.[4][4]

C.    Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam
1.      Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam
 Pendidikan Islam merupakan sistem yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[5][5]
Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk perkembangan.[6][6]
Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun.
Singkatnya, konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.[7][7]
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam.
2.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[8][8]
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
3.      Kurikulum Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid, diantaranya:
a.       Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan);
b.      Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik;
c.       Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character building).
Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[9][9]
4.      Metode pembelajaran
Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[10][10]
Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik.
5.      Konsep pendidik
Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
6.       Konsep peserta didik
Peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.
7.      Evaluasi Pembelajaran
Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan yang berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.

PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID
A.    Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Pada dasarnya pendidikan islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam islam, yang disebut kemajuan itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spiritual yang keduanya ditujuan untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Menurut Gus Dur, hukum islam harus mampu mengembangan watak dinamis bagi dirinya, diantaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di dalam pembangunan ini. Watak dinamis ini hanya dapat dimiliki, jika hukum islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada soal-soal duniawi yang menggeluti kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi dimasa kini.
Menurut Gus dur, yang paling penting adalah bagaimana umat itu  berlaku dan bersikap secara islam. Tulisan tentang tarbiyah oleh Gus Dur tidak lebih sebagai reaksi dari munculnya penggunaan istilah-istilah Tarbiyah pada lembaga-lembaga pendidikan islam dan idiom-idiom islami.
Istilah tarbiyah yang berasal dari Bahasa Arab tersebut menurut Gus Dur banyak digunakan sebagai istilah pendidikan. Di Negara asalnya kata tarbiyah mempunyai arti umum. Jika ingin menunjuk pada makna pendidikan secara khusus, maka akan ditambahkan kata lain. Seperti at-Tarbiyah as-Siyasiyyah , at-Tarbiyah ad-Diniyyah dan sebagainya.
Pada saat tersebut manusia membutuhkan bantuan dari pihak lain,terutama orang tua atau orang dewasa lainnya. Keadaan perlu bantuan, baik dari orang tua maupun orang lain atau lingkungan sekitarnya sekitarnya adalah pendidikan dan belajar yang didalamnya terdapat kegiatan latihan dan pembiasaan. Bahkan, tarbiyah yang sudah menjadi istilah tersendiri , mengandung makna dan pengertian yang berbeda secara filosofis dengan kata sepadannya, yaitu ta’dib, ta’lim, dan tadris.
Di Indonesia misalnya kesenjangan ekonomi, pemanfaatan sumber daya negeri yang tidak merata, tingkat pengangguran tinggi konflik antar etnis, tawuran antar pelajar, pertikaian antar pendukung dalam pemilu, baik daerah maupun pusat, penistaan dan penodaan simbol-simbol agama dan kepercayaan, hingga penentuan awal ramadhan dan awal syawal, termasuk yang akhir adalah penentuan arah kiblat, serta beberapa fatwa majlis ulama’ Indonesia (MUI) yang seringkali berimplikasi pada masyarakat Indonesia yang plural, semuanya memiliki potensi keberadaan dan potensi konflik jika tidak diiringi dengan sebuah pemahaman akan keberadaan tersebut. Sehingga menghadirkan pendidikan yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan, bahkan sebuah kebutuhan mutlak.
Dalam konsep Gus Dur, pendidikan dalam hal ini pendidikan islam harus berbasis pada penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan masyarakat.
Konsep Gus Dur tersebut seperti yang di ungkapkan oleh Muhammad Bakir, adalah ketika mencoba membuka wacana keberbedaan dalam pola bermazhab kepada kyai, yang semula ”syafi’iyah” murni dan tidak boleh bercampur oleh pendapat selain mazhab syafi’I, pelan-pelan mulai bergeser pola pikirannya untuk mengkaji diluar mazhab syafi’i.
Selain itu, upaya Gus Dur untuk mengatakan mengenalkan masalah aktual dengan cara pandangan agama kepada kyai merupakan bentuk riil dari usaha Gus Dur untuk memadukan religiusitas agamawan dengan persoalan kebangsaan. Diantaranya adalah dinamika multikultural pluralitas bangsa Indonesia, untuk dicarikan jawabannya melalui pendidikan islam.
1.      Nilai Pembebasan
Pada hakikatnya manusia di lahirkan ke bumi ini sudah membawa fitrah tersendiri untuk mengembang amanah sebagai wakil Tuhan di muknga bumi ini.Manusia terlahir secara merdeka, maka manusia pun tidak pernah ingin ditindas, karena penindasan merupakan perilaku manusia yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
 Pendidikan haruslah beroreientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dari dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif ataupun subjektif. Namun kedua-duanya. Bahwasanya telah diarahkan manusia haruslah mengenal diri sendiri, dan barang siapa yang mampu mengenal dirinya sendiri dan realitas sosial yang ada disekitarnya, maka ia akan mengenal tuhannya.
Sesungguhnya pemahaman terhadap pendidikan selaras dengan jiwa ajaran islam itu sendiri sebagai agama fitrah dan rahmat bagi semesta alam, karena islam melihat manusia sebagai makhluk secara fitri telah mengandung unsur-unsur baik. Tugas agama adalah untuk menjaga, memunculkan, dan mengembangkan kebaikan itu, sebagai agama rahmat bagi semesta alam.
2.      Nilai pluralisme
Gus Dur adalah seorang intelektual muslim yang mendunia, namun berasal dari kultur tradisi yang kuat. Pandangan berbagai persoalan, selalu dinilai dengan universalisme islam. Gus dur memaknai hal tersebut dengan perspektif penolakanya terhadap formalitas agama ideologisasi, atau syari’atisasi islam.
Pendidikan islam haruslah beragam ini merupakan salah satu dari percikan pemikiran yang pernah dilontarkan oleh sosok gus dur, pemikiran ini dilandasi bahwa gus dur memahami kondisi sosial masyarakat yang majemuk di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu wujud pilihan strategi untuk mengembangakan dan menyelaraskan pendidikan islam dalam bingkai perbedaan suku, ras, dan keyakinan yang cukup beragam di negeri ini. Di akui atau tidak, nilai-nilai luhur pemikiran gus dur diikuti oleh generasi berikutnya dan hal itu termanifetasikan dalam organisasi sosial keagamaan, yaitu kaum nahdliyin, atau golongan NU.sebuah kajian belakang ini atas orientasi sosial budaya setempat masyarakat di jawa yang menunjukkan bahwa sika-sikap yang diambil untuk meminimalisasi apa yang dirumuskan sebagai, “akibat-akibat aspek negatif pembangunan” ternyata melestarikan satu atau dua aspek orientasi yang lama tanpa keraguan sedikitpun”membuang”sisanya guna memberikan peluang kepada nilai-nilai baru yang lebih peka terhadap modernisasi dalam arti yang penuh. Upaya melestarikan” cagar-cagar social budaya” ini merupakan sebuah analogi atas tanah-tanah reserfasi suku bangsa indian diamerika serikat, muncul dalam berbagai bentuk yaitu penegasan kembali beberapa tradisi social keagamaan, kesediaan untuk lebih menggunakan bahasa daerah-daerah melebihi bahasa nasional, kesediaan pekerjaan dalam hirarki ekonomis, dan tradisi yang ada.
Dengan demikian, hal tersebut hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang seperti robot, tanpa ada analisis yang tajam terhadap permasalahan yang dihadapi. Kita pun melihat suatu perubahan dipesantren darul falah. Bogor. Disana, pelajaran pertanian, peternakan dll. Pendidikan islam haruslah beragam, mengingat kondisi sosial masyarakat antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai perbedaan dan ciri khasnya sendiri. Perbedaan masyarakat di Indonesia ini bukan hanya pada segi geografis saja, melainkan juga pada berbagai aspek baik itu keyakinan, ekonomi, sosial budaya, maupun perbedaan pandangan terhadap sesuatu.
“Berbeda-beda,tetapi tetaplah satu jua” semboyan tersebut secara fundamental berarti bahwa roh bangsa ini pada hakikatnya adalah satu bangunan yang di bingkai oleh berbagai macam perbedaan. Dengan demikian, untuk membangun pendidikan secara holistic komprenhesif perlu adanya kematangan konsep dalam alur pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita yang berbeda ragam suku dan kebudayaannya.
Hirarki kekuatan pemikiran dan pandangan gus dur dalam pendidikan islam terletak pada kemampuannya dalam menerjemahkan nilai-nilai yang melekat pada akar budaya yang berbeda-beda. Mungkin hal ini tidak terlepas dari ketidak kemampuan kita dalam menerjemahkan dan menafsirkan sosok gus dur dalam aktifitas dan pernyataanya diatas panggung kehidupan masyarakat keserasian antara pemikiran gus dur  dan masyarakat secara umum adalah kemampuanya dalam menjadikan pemikiran yang plural itu dengan nilai-nilai budaya yang berkembang di Indonesia. Salah satunya ada dalam sistem pendidikan islam yang termanifestasi kedalam ruh pesantren sebagai salah satu institusi tertua dalam pendidikan islam di Indonesia.
Pendidikan islam adalah salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan generasi penerus putra-putri bangsa dengan proses pengetahuan yang benar dan keyakinan yang tepat. Walaupun bangsa ini tersendiri dari satu kesatuan yang berbeda pada satu sisi, semua ajaran yang disahkan secara administrative kenegaraan tersendiri dari enam agama sampai detik ini, yaitu islam sebagai agama terbesar, kemudian Kristen, protestan, Kristen khatolik, hindu, budha, konghucu,yang kita telah ketahui bersama agama konghucu adalah agama yang baru yang telah disahkan oleh presiden ke empat bangsa Indonesia. Saat menjadi presiden gus dus mengeluarkan impress nomer 6 tanggal 17 januari tahun 2000, mencabut impress nomer 14 tahun1967 tentang agama kepercayaan dan adat istiadat cina dari 6 agama ini hiduplah masyarakat Indonesia berdampingan dan saling membutuhkan.
Dalam pendidikan islam yang mempunyai bermacam-macam corak, baik pada aspek pemikiran, soal budaya dan letak geografis yang mempengaruh terhadap proses perkembangan pendidikan, memiliki daya yang kuat dalam membangun dan membentuk pendidikan islam ditengah arus modernsasi. Pekembangan selanjutnya, yaitu perlu adanya pendidikan islam yang bercorak pluralitas dengan tetap mengacu pada nilai-nilai yang tetap bersandar pada al-qur’an dan hadist.
1.                       Pendekatan yang digunakan gusdur dalam usaha menampilkan citra islam kedalam kehidupan masyarakat adalah pemdekatan sosio kultur. Pendekatan ini menggunakan sikap  mengembangakan pandangan dan perangkat kultur yang dilengkapi oleh upaya membangun system kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya”agenda islam” ke dalam agenda nasional, bangsa secara inklusifistik. Belajar dari pengalaman hidup seorang gus dur, rasanya pendidikan agama dan pendidikan multikulturalisme bias berjalan seimbang dan tidak perlu dipertentangkan satu sama lainnya. Pengalaman gus dur yang lahir dari pendidikan agama yang kental baik sejak pesantren di jawa maupun pengalaman pendidikannya di mesir, irak basdad, dan eropa dan membuahkan pendangan multikulturalismenya yang kuat.masalahnya adalah bagaimana pengalaman multikulturalisme nya Gus Dur di terapkan dalam sistem pendidikan kita .
2.      Nilai Neo Modernisasi
     Telah dipaparkan sebelumnya, ada beberapa kualifikasi dalam dunia pendidikan islam. Pertama pendidikan islam pada zaman Nabi Muhammad S.A.W dengan system pembelajaran yang langsung diajarkan oleh Nabi baik secara individual maupun secara kelompok. Kedua zaman pertengahan, dimana pendidikan islam sudah mulai berkembang. Hal ini dikembangkan oleh para tabi’it tabi’in, tokoh pemprakarsa dalam dunia pendidikan islam pada waktu itu adalah ibnu maskwaih. Ketiga adalah zaman modern, dimana dunia pendidikan Islam mulai berkembang pesat, dan hal ini tidak lepas dari derasnya perkembangan kultur yang ada. Hal itu di sebutkan oleh salah satu tokoh pendidikan Islam yang popuer di Indonesia yaitu Hasan Langgulung
            Tujuan pendidikan Islam sebagaimana ditransformasi dalam Al-qur’an dan As-sunnah adalah :
1.      Mengembangkan kepribadian seorang muslim untuk tujuan utama yaitu beribadah kepada Allah S.W.T
2.      Megantarkan manusia agar siap dan mampu melaksanakan tugasnya yaitu sebagai Khalifah di bumi dengan baik dan adil
3.      Membangun masyarakat yang baik dan amar ma’ruf nahi munkar
4.      Menjadi manusia yang adil
Al-qur’an dan as-sunnah adalah sumber utama dari adanya pendidikan islam, maka manusia tidak lepas dari peran sebagai penterjemah kerangka universal Al-Qur’an dan hal itu sudah di lakukan oleh salah satu tokoh pembaruan islam, yaitu Gus Dur, seorang cendikiawan muslim, ulama’, dan politisi yang humoris. Beliau berusaha membangun paradigma klasik menuju paradigma modern dengan tujuan menyatukan umat yang berbeda agama, kultur, budaya, ras, suku, dan selalu membela kaum minoritas.
3.      Nilai tradisi
Menurut Gus Dur, sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren juga bersandar pada silabi yang di susun lebih dari 500 tahun yang lalu oleh imam Abdur Rohman As Suyuti. Silabi inilah yang menjadi dasar acua pondok pesantren tradisional selama ini  dengan pengembangan kajian islam yang terduiri dari berbagai macam disiplian ilmu yang semuanya di pelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam.
Menurut Gus Dur peradaban Islam yang benar-benar islam iaah suatu peradaban yang mampu mengayomi semua orang, dan boleh di gunakan oleh semua orang. Disinilah pesantren telah mampu berperan dalam realitasnya. Hukum kemasyarakatan yang bermadzhab sudah berangsur-angsur di gantikan oleh hukum modern dengan penalaran bebas. Kalaupun ada yang tersisa dan masih mendapat tempatnya adalah soal ibadah, itupun dalam kadar dan indensitas yang semakin berkurang dan lebih bersifat perorangan dan simbolik. Fakta tersebut mengungkapkan bahwa nilai-nilai budaya luhur kendor dan gantinya belum muncul.
D.    Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.

E.     Relevansi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dengan Pendidikan Saat Ini
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih dipertahankan dalam dunia pendidikan  di Indonesia. Artinya, dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah menjadi robot-robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini nampaknya  sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan berkarakter.
Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam, namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern.







DAFTAR PUSTAKA


Faisol. 2013. Gus Dur dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Rifa’i, Muhammad. 2013. Gus Dur.  Yogyakarta: Garasi.
Saefulloh, Aris. 2003. Gus Dur vs Amien Rais. Yogyakarta: Laelathinkers.
Sholahuddin, M. Sugeng. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Pekalongan: Stain Press
Artikel.www. Multikulturalisme-gus-dur.hmtl.jumat 24 april 2015.



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa melimpahkan taufik, rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai pembawa kabar gembira bagi umat yang bertaqwa.
Makalah yang berjudul Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Dalam penulisan makalah ini, penulis mendapatakan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berpartisipasi membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapakan. Akhirnya, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan pada umumya dan khususnya pada Filsafat Pendidikan Islam.
.

Jember, April 2015


Penulis






i
 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................   i
DAFTAR ISI..............................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang.................................................................................   1
2.      Rumusan Masalah............................................................................   1
3.      Tujuan..............................................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN
a.       Biografi K.H. Abdurrahman Wahid................................................   3
b.      Setting Sosial K.H. Abdurrahman Wahid ......................................   4
c.       Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang
Pendidikan Islam.............................................................................   5
d.      Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid................................   15
e.       Relevansi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dengan
Pendidikan Saat Ini..........................................................................   16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................................   18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................   19










ii
 


[1] M.Sugeng Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Pekalongan: Stain Press, 2005), hlm. 15.
[2] Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), hlm. 65-67.
[3][3] Muhammad Rifa’i, Gus Dur (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm. 20-21.
[4][4] Ibid., hlm. 42.
[5][5] Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013), hlm. 37.
[6][6]Ibid., hlm. 26-27.
[7][7] Ibid, hlm. 115.
[8][8] Ibid., hlm. 75.
[9][9] Ibid, hlm. 28.
[10][10] Ibid, hlm. 127-128.