MAKALAH
PEMIKIRAN
ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
Ini Ditulis dalam Rangka Memenuhi Tugas Matakuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen
Pembimbing : Asnawan, M.SI
Disusun
Oleh:
Kelompok
: 5
Retno Hana
Saputri : 084 131 111
Achmad Fathur
Rizqi Alfian Jamil : 084 131 123
Imam Syahroni H : 084 131 124
Firman Gilang Pratama : 084 131 097
Dwi Lutvi Azizah : 084 131 120
FAKULTAS
TARBIYAH
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI JEMBER
(IAIN) JEMBER
April, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di tengah-tengah
situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap
berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya,
sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif.
K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang
banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya
yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah, menyebabkan ia
menjadi tokoh kontroversial.
Perannya sebagai
presiden Republik Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan
dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu
membela golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak
Pluralisme Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap
perbedaan-perbedaan yang ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya.
Sebagai seorang ilmuwan
yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam,
harus dilakukan dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar
ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam. Dalam makalah
ini akan dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman
Wahid.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pembahasan di atas, penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi K.H.
Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana setting
sosial K.H. Abdurrahman Wahid?
3. Apa saja konsep
pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan?
4. Bagaimana analisis
terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid?
5. Bagaimana relevansi
K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui biografi
K.H. Abdurrahman Wahid.
2. Mengetahui setting
sosial K.H. Abdurrahman Wahid.
3. Mengetahui konsep
pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan.
4. Mengetahui analisis
terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid.
5. Mengetahui relevansi
K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar
Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah
Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti ‘Sang Penakluk’, sebuah nama yang
diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak
kejayaan Islam di Spanyol. [1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra dari
K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan
organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng,
Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah
adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya,
Gus Dur merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih
(kalangan kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek
dan ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh
pahlawan nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat
orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita
Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto
Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit komplikasi
diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[2]
B.
Setting Sosial
Jombang adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata
pencaharian penduduknya adalah bertani. Kondisi alamnya yang subur menjadikan
para petani bisa bertahan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dalam
perkembangannya, dunia petanian di wilayah ini mengalami pengaruh
industrialisasi yang menyebabkan mereka mengadopsi pola pertanian modern.
Kota Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota
inilah muncul beberapa kiai besar dan pesantren yang terkenal. Seperti K.H.
Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahid Hasyim yang merupakan kakek serta ayah dari Gus
Dur dengan pesantren Tebuireng, K.H. Wahab Hasbullah dengan psantren
Tambakberas, dan lain sebagainya. Dari kota ini pula muncul tokoh-tokoh kelas
nasional dari budayawan, politisi, seniman, intelektual. Salah satunya adalah
Gus Dur sendiri, salah satu tokoh NU dan warga Jombang yang pernah menjabat
sebagai Presiden RI ke-4.[3][3]
Sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam
lingkungan. Di awal masakecilnya ia dikenalkan pada dunia pesantren di Jombang.
Kemudian, pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis
dan glamor di Jakarta dan berkenalan dengan
berbagai tokoh pergerakan. Di
Jakarta, Gus Dur belajar banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya, tetapi
dari pergaulan ayahnya dari kalangan pesantren, nasionalis bahkan komunis. Inilah yang menjadikan Gus Dur di kemudian
hari sangat minat akan pengetahuan, dan mampu menjembatani secara dialogis dan berkesinambungan antara
tradisi pesantren dengan dunia modern.
Gus Dur memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis ketika ia
belajar di kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah,
tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas
Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini pula,
Gus Dur belajar sufisme dan sering
melakukan ziarah kubur ke makam-makam para wali kelas dunia.
Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa
yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan, pluralisme dan mempertahankan nasionalisme.[4][4]
C. Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam
1. Pengertian dan Konsep
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan sistem
yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk
mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya.
Tujuan dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh
karenanya, pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam
yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[5][5]
Konsep dan gagasan K.H
Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada
gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan
pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan
kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era
globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus
mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam
arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang
dipandang manfaat positif untuk perkembangan.[6][6]
Gus Dur pada sikap
optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang
luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan
terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat
mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi
juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara,
sekalipun.
Singkatnya, konsep
pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan
religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik
menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.[7][7]
Pendidikan Islam dalam
perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam
tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern.
Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai
dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah
perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan
tidak melupakam esensi ajaran Islam.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam
untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena
pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk
menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari
pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam
secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk
menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[8][8]
Pendidikan dalam Islam
merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif
(pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan
sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir
pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia)
agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
3. Kurikulum Pembelajaran
Sistem pembelajaran
yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus
bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi peserta didik,
sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi.
Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid, diantaranya:
a. Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan
psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan
karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak
mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan
aspek-aspek kognitif (pengetahuan);
b. Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga
membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri
peserta didik;
c. Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran
peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa
bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus
mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character
building).
Oleh sebab itu,
kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi
zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis
antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif,
kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan
selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan
dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[9][9]
4. Metode pembelajaran
Salah satu metode
pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah
beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis.
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu
mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada
pendidikan Islam.[10][10]
Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di
pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan
juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem
pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak
didik.
5. Konsep pendidik
Menurut Gus Dur,
pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang
demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga harus
benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
6. Konsep peserta didik
Peserta didik dituntut
untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan
selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu
problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat
mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada
proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.
7. Evaluasi Pembelajaran
Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang
peningkatan yang berorientasi proses (process oriented) yaitu,
proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu
pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang
berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan
praktisi pendidikan dan pendidik.
PENDIDIKAN
ISLAM PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID
A.
Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Pada dasarnya pendidikan islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan
perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam islam, yang disebut kemajuan
itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spiritual yang
keduanya ditujuan untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Menurut Gus Dur, hukum islam harus mampu mengembangan watak dinamis
bagi dirinya, diantaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang
perkembangan hukum nasional di dalam pembangunan ini. Watak dinamis ini hanya
dapat dimiliki, jika hukum islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada
soal-soal duniawi yang menggeluti kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan
memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi dimasa
kini.
Menurut Gus dur, yang paling penting adalah bagaimana umat itu berlaku dan bersikap secara islam. Tulisan
tentang tarbiyah oleh Gus Dur tidak lebih sebagai reaksi dari munculnya
penggunaan istilah-istilah Tarbiyah pada lembaga-lembaga pendidikan islam dan
idiom-idiom islami.
Istilah tarbiyah yang berasal dari Bahasa Arab tersebut menurut Gus
Dur banyak digunakan sebagai istilah pendidikan. Di Negara asalnya kata
tarbiyah mempunyai arti umum. Jika ingin menunjuk pada makna pendidikan secara
khusus, maka akan ditambahkan kata lain. Seperti at-Tarbiyah as-Siyasiyyah ,
at-Tarbiyah ad-Diniyyah dan sebagainya.
Pada saat tersebut manusia membutuhkan bantuan dari pihak
lain,terutama orang tua atau orang dewasa lainnya. Keadaan perlu bantuan, baik
dari orang tua maupun orang lain atau lingkungan sekitarnya sekitarnya adalah
pendidikan dan belajar yang didalamnya terdapat kegiatan latihan dan
pembiasaan. Bahkan, tarbiyah yang sudah menjadi istilah tersendiri , mengandung
makna dan pengertian yang berbeda secara filosofis dengan kata sepadannya, yaitu
ta’dib, ta’lim, dan tadris.
Di Indonesia misalnya kesenjangan ekonomi, pemanfaatan sumber daya
negeri yang tidak merata, tingkat pengangguran tinggi konflik antar etnis,
tawuran antar pelajar, pertikaian antar pendukung dalam pemilu, baik daerah
maupun pusat, penistaan dan penodaan simbol-simbol agama dan kepercayaan,
hingga penentuan awal ramadhan dan awal syawal, termasuk yang akhir adalah
penentuan arah kiblat, serta beberapa fatwa majlis ulama’ Indonesia (MUI) yang
seringkali berimplikasi pada masyarakat Indonesia yang plural, semuanya
memiliki potensi keberadaan dan potensi konflik jika tidak diiringi dengan
sebuah pemahaman akan keberadaan tersebut. Sehingga menghadirkan pendidikan
yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan, bahkan sebuah kebutuhan
mutlak.
Dalam konsep Gus Dur, pendidikan dalam hal ini pendidikan islam
harus berbasis pada penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan masyarakat.
Konsep Gus Dur tersebut seperti yang di ungkapkan oleh Muhammad
Bakir, adalah ketika mencoba membuka wacana keberbedaan dalam pola bermazhab
kepada kyai, yang semula ”syafi’iyah” murni dan tidak boleh bercampur oleh
pendapat selain mazhab syafi’I, pelan-pelan mulai bergeser pola pikirannya
untuk mengkaji diluar mazhab syafi’i.
Selain itu, upaya Gus Dur untuk mengatakan mengenalkan masalah
aktual dengan cara pandangan agama kepada kyai merupakan bentuk riil dari usaha
Gus Dur untuk memadukan religiusitas agamawan dengan persoalan kebangsaan.
Diantaranya adalah dinamika multikultural pluralitas bangsa Indonesia, untuk
dicarikan jawabannya melalui pendidikan islam.
1.
Nilai Pembebasan
Pada hakikatnya manusia di lahirkan ke bumi ini sudah membawa
fitrah tersendiri untuk mengembang amanah sebagai wakil Tuhan di muknga bumi
ini.Manusia terlahir secara merdeka, maka manusia pun tidak pernah ingin
ditindas, karena penindasan merupakan perilaku manusia yang tidak menghargai
nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan haruslah
beroreientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dari dirinya sendiri.
Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif ataupun subjektif. Namun
kedua-duanya. Bahwasanya telah diarahkan manusia haruslah mengenal diri
sendiri, dan barang siapa yang mampu mengenal dirinya sendiri dan realitas
sosial yang ada disekitarnya, maka ia akan mengenal tuhannya.
Sesungguhnya pemahaman terhadap pendidikan selaras dengan jiwa
ajaran islam itu sendiri sebagai agama fitrah dan rahmat bagi semesta alam,
karena islam melihat manusia sebagai makhluk secara fitri telah mengandung
unsur-unsur baik. Tugas agama adalah untuk menjaga, memunculkan, dan
mengembangkan kebaikan itu, sebagai agama rahmat bagi semesta alam.
2.
Nilai pluralisme
Gus Dur adalah seorang intelektual muslim yang mendunia, namun
berasal dari kultur tradisi yang kuat. Pandangan berbagai persoalan, selalu
dinilai dengan universalisme islam. Gus dur memaknai hal tersebut dengan
perspektif penolakanya terhadap formalitas agama ideologisasi, atau
syari’atisasi islam.
Pendidikan islam haruslah beragam ini merupakan salah satu dari
percikan pemikiran yang pernah dilontarkan oleh sosok gus dur, pemikiran ini
dilandasi bahwa gus dur memahami kondisi sosial masyarakat yang majemuk di
Indonesia. Hal ini merupakan salah satu wujud pilihan strategi untuk
mengembangakan dan menyelaraskan pendidikan islam dalam bingkai perbedaan suku,
ras, dan keyakinan yang cukup beragam di negeri ini. Di akui atau tidak,
nilai-nilai luhur pemikiran gus dur diikuti oleh generasi berikutnya dan hal
itu termanifetasikan dalam organisasi sosial keagamaan, yaitu kaum nahdliyin, atau golongan NU.sebuah
kajian belakang ini atas orientasi sosial budaya setempat masyarakat di jawa
yang menunjukkan bahwa sika-sikap yang diambil untuk meminimalisasi apa yang
dirumuskan sebagai, “akibat-akibat aspek negatif pembangunan” ternyata melestarikan
satu atau dua aspek orientasi yang lama tanpa keraguan
sedikitpun”membuang”sisanya guna memberikan peluang kepada nilai-nilai baru
yang lebih peka terhadap modernisasi dalam arti yang penuh. Upaya melestarikan”
cagar-cagar social budaya” ini merupakan sebuah analogi atas tanah-tanah
reserfasi suku bangsa indian diamerika serikat, muncul dalam berbagai bentuk
yaitu penegasan kembali beberapa tradisi social keagamaan, kesediaan untuk
lebih menggunakan bahasa daerah-daerah melebihi bahasa nasional, kesediaan
pekerjaan dalam hirarki ekonomis, dan tradisi yang ada.
Dengan demikian, hal tersebut hanya akan menghasilkan
manusia-manusia yang seperti robot, tanpa ada analisis yang tajam terhadap
permasalahan yang dihadapi. Kita pun melihat suatu perubahan dipesantren darul
falah. Bogor. Disana, pelajaran pertanian, peternakan dll. Pendidikan islam
haruslah beragam, mengingat kondisi sosial masyarakat antara daerah satu dengan
daerah yang lain mempunyai perbedaan dan ciri khasnya sendiri. Perbedaan
masyarakat di Indonesia ini bukan hanya pada segi geografis saja, melainkan
juga pada berbagai aspek baik itu keyakinan, ekonomi, sosial budaya, maupun
perbedaan pandangan terhadap sesuatu.
“Berbeda-beda,tetapi tetaplah satu jua” semboyan tersebut secara
fundamental berarti bahwa roh bangsa ini pada hakikatnya adalah satu bangunan
yang di bingkai oleh berbagai macam perbedaan. Dengan demikian, untuk membangun
pendidikan secara holistic komprenhesif perlu adanya kematangan konsep dalam
alur pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita yang berbeda ragam
suku dan kebudayaannya.
Hirarki kekuatan pemikiran dan pandangan gus dur dalam pendidikan
islam terletak pada kemampuannya dalam menerjemahkan nilai-nilai yang melekat
pada akar budaya yang berbeda-beda. Mungkin hal ini tidak terlepas dari ketidak
kemampuan kita dalam menerjemahkan dan menafsirkan sosok gus dur dalam
aktifitas dan pernyataanya diatas panggung kehidupan masyarakat keserasian
antara pemikiran gus dur dan masyarakat
secara umum adalah kemampuanya dalam menjadikan pemikiran yang plural itu
dengan nilai-nilai budaya yang berkembang di Indonesia. Salah satunya ada dalam
sistem pendidikan islam yang termanifestasi kedalam ruh pesantren sebagai salah
satu institusi tertua dalam pendidikan islam di Indonesia.
Pendidikan islam adalah salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan
generasi penerus putra-putri bangsa dengan proses pengetahuan yang benar dan
keyakinan yang tepat. Walaupun bangsa ini tersendiri dari satu kesatuan yang
berbeda pada satu sisi, semua ajaran yang disahkan secara administrative
kenegaraan tersendiri dari enam agama sampai detik ini, yaitu islam sebagai
agama terbesar, kemudian Kristen, protestan, Kristen khatolik, hindu, budha,
konghucu,yang kita telah ketahui bersama agama konghucu adalah agama yang baru
yang telah disahkan oleh presiden ke empat bangsa Indonesia. Saat menjadi
presiden gus dus mengeluarkan impress nomer 6 tanggal 17 januari tahun 2000,
mencabut impress nomer 14 tahun1967 tentang agama kepercayaan dan adat istiadat
cina dari 6 agama ini hiduplah masyarakat Indonesia berdampingan dan saling
membutuhkan.
Dalam pendidikan islam yang mempunyai bermacam-macam corak, baik
pada aspek pemikiran, soal budaya dan letak geografis yang mempengaruh terhadap
proses perkembangan pendidikan, memiliki daya yang kuat dalam membangun dan
membentuk pendidikan islam ditengah arus modernsasi. Pekembangan selanjutnya,
yaitu perlu adanya pendidikan islam yang bercorak pluralitas dengan tetap
mengacu pada nilai-nilai yang tetap bersandar pada al-qur’an dan hadist.
1.
Pendekatan yang digunakan gusdur dalam usaha menampilkan citra
islam kedalam kehidupan masyarakat adalah pemdekatan sosio kultur. Pendekatan
ini menggunakan sikap mengembangakan
pandangan dan perangkat kultur yang dilengkapi oleh upaya membangun system
kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu.
Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya”agenda islam” ke dalam agenda
nasional, bangsa secara inklusifistik. Belajar dari pengalaman hidup seorang
gus dur, rasanya pendidikan agama dan pendidikan multikulturalisme bias berjalan
seimbang dan tidak perlu dipertentangkan satu sama lainnya. Pengalaman gus dur
yang lahir dari pendidikan agama yang kental baik sejak pesantren di jawa
maupun pengalaman pendidikannya di mesir, irak basdad, dan eropa dan membuahkan
pendangan multikulturalismenya yang kuat.masalahnya adalah bagaimana pengalaman
multikulturalisme nya Gus Dur di terapkan dalam sistem pendidikan kita .
2.
Nilai Neo Modernisasi
Telah dipaparkan sebelumnya, ada beberapa
kualifikasi dalam dunia pendidikan islam. Pertama pendidikan islam pada
zaman Nabi Muhammad S.A.W dengan system pembelajaran yang langsung diajarkan
oleh Nabi baik secara individual maupun secara kelompok. Kedua zaman
pertengahan, dimana pendidikan islam sudah mulai berkembang. Hal ini
dikembangkan oleh para tabi’it tabi’in, tokoh pemprakarsa dalam dunia
pendidikan islam pada waktu itu adalah ibnu maskwaih. Ketiga adalah
zaman modern, dimana dunia pendidikan Islam mulai berkembang pesat, dan hal ini
tidak lepas dari derasnya perkembangan kultur yang ada. Hal itu di sebutkan
oleh salah satu tokoh pendidikan Islam yang popuer di Indonesia yaitu Hasan
Langgulung
Tujuan pendidikan
Islam sebagaimana ditransformasi dalam Al-qur’an dan As-sunnah adalah :
1.
Mengembangkan kepribadian seorang muslim untuk tujuan utama yaitu beribadah
kepada Allah S.W.T
2.
Megantarkan manusia agar siap dan mampu melaksanakan tugasnya yaitu
sebagai Khalifah di bumi dengan baik dan adil
3.
Membangun masyarakat yang baik dan amar ma’ruf nahi munkar
4.
Menjadi manusia yang adil
Al-qur’an dan
as-sunnah adalah sumber utama dari adanya pendidikan islam, maka manusia tidak
lepas dari peran sebagai penterjemah kerangka universal Al-Qur’an dan hal itu
sudah di lakukan oleh salah satu tokoh pembaruan islam, yaitu Gus Dur, seorang
cendikiawan muslim, ulama’, dan politisi yang humoris. Beliau berusaha
membangun paradigma klasik menuju paradigma modern dengan tujuan menyatukan
umat yang berbeda agama, kultur, budaya, ras, suku, dan selalu membela kaum
minoritas.
3.
Nilai tradisi
Menurut Gus
Dur, sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren juga bersandar pada silabi
yang di susun lebih dari 500 tahun yang lalu oleh imam Abdur Rohman As Suyuti.
Silabi inilah yang menjadi dasar acua pondok pesantren tradisional selama
ini dengan pengembangan kajian islam
yang terduiri dari berbagai macam disiplian ilmu yang semuanya di pelajari
dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam.
Menurut Gus Dur
peradaban Islam yang benar-benar islam iaah suatu peradaban yang mampu
mengayomi semua orang, dan boleh di gunakan oleh semua orang. Disinilah
pesantren telah mampu berperan dalam realitasnya. Hukum kemasyarakatan yang
bermadzhab sudah berangsur-angsur di gantikan oleh hukum modern dengan
penalaran bebas. Kalaupun ada yang tersisa dan masih mendapat tempatnya adalah
soal ibadah, itupun dalam kadar dan indensitas yang semakin berkurang dan lebih
bersifat perorangan dan simbolik. Fakta tersebut mengungkapkan bahwa
nilai-nilai budaya luhur kendor dan gantinya belum muncul.
D. Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai
intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun
pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni
klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal
menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam
tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut
berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh
penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang
kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi
kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur
dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan
apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya
timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya
barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya
terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang
secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir
yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah
dipahami, alias kontroversi.
E.
Relevansi Pemikiran
K.H. Abdurrahman Wahid dengan Pendidikan Saat Ini
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan,
khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam
ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih
dipertahankan dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Artinya, dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan
terarah dalam mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya.
Bukan malah menjadi robot-robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir
orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam
perspektif Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan
lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran
aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat
kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini
nampaknya sudah diterapkan dalam sistem
pembelajaran di Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik
maupun peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer
of knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value
serta pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan
pemikiran tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang
mengedepankan pendidikan berkarakter.
Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski
pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam,
namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai
pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula
diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pendidikan Islam dalam
perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam
tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern
sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai
dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia
merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah
rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk
menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan
Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian
tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta
didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
Kurikulum pendidikan
Islam menurut K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus
lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus
Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang
kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik
untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang
akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur,
pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang
demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern.
DAFTAR PUSTAKA
Faisol. 2013. Gus Dur dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar Ruz
Media.
Rifa’i, Muhammad. 2013. Gus Dur.
Yogyakarta: Garasi.
Saefulloh, Aris. 2003. Gus Dur vs Amien Rais. Yogyakarta:
Laelathinkers.
Sholahuddin, M. Sugeng. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Pekalongan: Stain Press
Artikel.www. Multikulturalisme-gus-dur.hmtl.jumat 24 april 2015.
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa melimpahkan
taufik, rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sebagai pembawa kabar gembira bagi umat yang bertaqwa.
Makalah
yang berjudul Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Dalam
penulisan makalah ini, penulis mendapatakan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah berpartisipasi membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini masih belum sempurna dan banyak
kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapakan. Akhirnya, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
untuk pengembangan pengetahuan pada umumya dan khususnya pada Filsafat
Pendidikan Islam.
.
Jember,
April 2015
Penulis
i
|
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR
ISI.............................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang................................................................................. 1
2.
Rumusan Masalah............................................................................ 1
3.
Tujuan.............................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
a.
Biografi K.H. Abdurrahman Wahid................................................ 3
b.
Setting Sosial K.H. Abdurrahman Wahid ...................................... 4
c.
Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang
Pendidikan Islam............................................................................. 5
d.
Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid................................ 15
e. Relevansi Pemikiran
K.H. Abdurrahman Wahid dengan
Pendidikan Saat Ini.......................................................................... 16
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan
................................................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................... 19
ii
|